BREN

Pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada Kamis (27/7) malam bisa dijadikan titik pijak awal untuk melakukan pemetaan kubu atau poros kekuatan politik men je lang Pilpres 2019 yang akan digelar se ren tak dengan Pemilu Legislatif (DPR dan DPD).
Dalam jumpa pers usai pertemuan yang dihelat di kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, tersebut, kedua belah pihak mengkritisi RUU Pemilu yang baru saja disahkan DPR pada Jumat (21/7) dini hari yang ditandai dengan walkout anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
Sikap PAN yang berseberangan dengan partai-partai pendukung pemerintah telah memicu sinisme, karena PAN secara resmi menjadi bagian dari partai pendukung Jokowi-JK, dan telah mendapatkan &lsquo;kompensasi&rsquo; kursi di Kabinet Kerja.
Ada yang mendesak agar PAN secara ksatria keluar dari koalisi pendukung pemerintah.
Kembali ke inti pertemuan SBY-Prabowo yang dikemas dalam apa yang dinamakan &lsquo;diplomasi nasi goreng&rsquo;&mdash;karena malam itu sajian utamanya adalah nasi goreng gerobak Rp12.000 per porsi yang biasa mangkal di Cikeas dan menjadi langganan keluarga SBY.
Pada dasarnya, RUU Pemilu yang disahkan DPR tersebut&mdash;khususnya terkait dengan presidential threshold 20% kursi atau 25% suara&mdash;dinilai tidak konstitusional, dan Demokrat serta Gerindra tidak bertanggung jawab dengan pengesahan UU tersebut. Bahkan, Prabowo menyebut hal itu sebagai lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia.
Sebagai sebuah peristiwa politik, barangkali apa yang yang menjadi materi pembicaraan seputar RUU Pemilu tersebut tak terlalu menarik, karena sikap SBY dan Prabowo sesungguhnya telah tercermin dari sikap Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Gerindra di DPR yang menghendaki presidential threshold 0%.
PELUANG KOALISI
Signifi kansi pertemuan tersebut justru adanya sinyal menguatnya pengkutuban politik jelang siklus lima tahunan hajatan politik nasional&mdash;Pemilu 2019&mdash; di mana SBY dan Prabowo membuka ruang komunikasi, yang boleh jadi pada akhirnya akan mengejawantah dalam bentuk koalisi untuk menghadapi Pilpres 2019 dengan menyodorkan paket nama capres-cawapres.
Sedikit menengok ke belakang, pada dasarnya Demokrat tak pernah benarbenar masuk Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014, yang akhirnya dimenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Demokrat saat itu cenderung memilih nonblok alias tidak berpihak baik ke duet Prabowo- Hatta maupun Jokowi-JK.
Meski waktu itu para petinggi partai yang berada di KMP bersama Prabowo- Hatta melakukan silaturahmi khusus kepada SBY di Cikeas, toh tak pernah keluar pernyataan dukungan resmi dari SBY kepada duet tersebut atas nama Partai Demokrat. Hanya ada isyaratisyarat samar dari sejumlah petinggi Demokrat yang mengesankan memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta.
Saat ini tentu saja terlalu dini membicarakan peluang kerja sama atau koalisi antara Demokrat dan Gerindra&mdash;plus PKS dan PAN&mdash;untuk menghadapi hajatan Pemilu 2019. Sebelum mencapai tahapan tersebut, masih ada tahapan lain yang boleh jadi proses dan hasilnya bisa mengubah banyak kalkulasi dan spekulasi politik belakangan ini.
Menunggu uji materi terhadap UU Pemilu, khususnya terkait dengan presidential threshold, adalah hal pertama yang mesti dilakukan sebelum melangkah lebih jauh menuju pembicaraan peluang koalisi atau yang lainnya.
Pertanyaannya, seandainya Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan permohonan uji materi dan dengannya ketentuan tentang presidential threshold dibatalkan, adakah mereka akan memajukan sendiri-sendiri capresnya atau tetap menggalang koalisi? Sejauh ini, baru Partai Golkar yang menegaskan sikap untuk tetap mendukung Jokowi sebagai capres pada 2019 kalaupun MK membatalkan ketentuan tentang presidential threshold. Sejauh mana konsistensi Golkar, publik akan mencermati proses politik ke depan.
Kalau MK memutuskan tanpa presidential threshold, boleh jadi Pilpres 2019 akan diwarnai banyak kandidat.
Arena menjadi begitu terbuka, dan di atas kertas siapapun yang mendapatkan endorsement partai peserta pemilu berpeluang menggapai ambisinya menjadi presiden-wapres. Dari sisi partisipasi politik, ini tentu menjadi kabar gembira, dan mungkin akan ada banyak kejutan terkait sosok yang bakal muncul dalam pertarungan pilpres.
Hanya, risikonya, Pilpres 2019 mungkin akan menjadi begitu hiruk-pikuk, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai otoritas penyelenggara pemilu bakal cukup kerepotan dalam pengaturan teknis kampanye. Bayangkan seandainya ada 10 duet capres-cawapres, dan KPU mesti menggelar debat kandidat? Lepas dari itu, pembelahan politik men jelang Pemilu 2019 memang sudah te rasa dan mungkin makin mengeras di waktu-waktu penentuan pasangan ca pres-cawapres di mana partai politik mes ti menegaskan jagoan yang akan di u sungnya.
Rasanya, partai-partai pendukung pemerintah sekarang&mdash;terutama PDIP, Par tai Nasdem, Golkar, PKB, PPP, dan Par tai Hanura&mdash;akan tetap mengusung Jo k owi sebagai capres. Hanya, mungkin mereka akan mengalami pergulatan pan jang soal siapa yang bakal menjadi cawapres.
Bukan apa-apa. Kalau Jokowi ter pilih lagi pada 2019, siapapun wapres pen dampingnya akan memiliki peluang besar menjadi presiden mendatang seiring dengan berakhirnya periode kedua Jokowi pada 2024.
Lalu bagaimana dengan PAN, yang meski bergabung dalam koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK, tetapi secara &lsquo;kimiawi politik&rsquo; tampak lebih nyaman dalam habitat eks KMP, yaitu Gerindra, PKS dan mungkin bertambah Demokrat? Mau tidak mau, PAN harus menegaskan garis politiknya.
Tetap bergabung dalam koalisi partai pendukung Jokowi, atau masuk dalam gerbong partai pendukung kandidat lain&mdash;entah Prabowo atau siapapun.
Sesungguhnya, dengan atau tanpa presidential threshold, boleh jadi Pilpres 2019 tetap hanya akan menghadapkan Jokowi vs Prabowo, alias mengulang cerita Pilpres 2014. Proses-proses politik yang rumit dan kompleks, serta pasti berbiaya tinggi, sedikit-banyak akan memaksa para petinggi partai untuk lebih realistis dalam menyikapi pilpres.
Istilahnya, mereka akan mengukur diri terkait parameter popularitas dan elektabilitas, juga logistik.
Dalam konteks seperti itu, mudah ditebak sekian belas partai politik peserta Pemilu 2019 pada akhirnya akan hanya mengerucut dalam dua poros kekuatan utama yang merupakan simplifi kasi dari beragam alasan sosiologis dan ekonomi politik, serta akar sentimen ideologisnya masing-masing.
Diplomasi nasi goreng di Cikeas harus diakui menjadi titik pijak awal sinyal polarisasi kekuatan tersebut.
Greget pertemuan itu memperlihatkan bahwa SBY-Prabowo seperti hendak menyatukan langkah dan tekad bersama menyongsong 2019&hellip;

 Pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada Kamis (27/7) malam bisa dijadikan titik pijak awal untuk melakukan pemetaan kubu atau poros kekuatan politik men je lang Pilpres 2019 yang akan digelar se ren tak dengan Pemilu Legislatif (DPR dan DPD). 

Indikator Politik Diplomasi Nasi Goreng & Pilpres 2019

Informasi Diunggah

Indikator Politik Diplomasi Nasi Goreng &amp; Pilpres 2019

Informasi Diunggah

Indikator Politik Diplomasi Nasi Goreng & Pilpres 2019