BREN

Kantor menjadi rumah kedua bagi jutaan karyawan dengan latar belakang yang berbeda.
Tak hanya dalam menjalin hubungan dengan rekan kerja, isu perbedaan latar belakang ternyata telah memengaruhi sikap petinggi perusahaan dalam mengambil keputusan.
Isu kebhinekaan cukup santer di kalangan chief executive officer (CEO) di seluruh dunia. Berdasarkan riset global Deloitte Human Capital Trends 2017, isu terkait kebhinekaan atau keragaman berada di peringkat kedelapan. Banyak pemangku kepentingan korporasi sudah memahami adanya perubahan positif dari budaya inklusi terhadap kinerja perusahaan.
Kendati demikian, isu seputar keragaman dan inklusi terus membuat frustasi dan menjadi tantangan tersendiri bagi banyak organisasi. Masalahnya, hal ini lebih banyak membetot perhatian korporasi tingkat multinasional, sementara perusahaan lokal belum memfokuskan kepada budaya inklusi.
Hal ini diutarakan oleh Chief Human Resources Officer Indosat Ooredoo Ripy Mangkoesoebroto. Dia mengatakan, banyak perusahaan multinasional menjadikan parameter keberagaman masuk ke dalam key perfomance index (KPI).
Misalnya, dengan memonitor jumlah karyawan wanita dalam suatu struktur organisasi. Dia mengatakan dalam kurun waktu 3 tahun, perhatian serius korporasi di dunia terhadap keberagaman gender meningkat 32%.
Tak hanya soal gender, keragaman terkait dengan ras, umur, agama, tingkat pendidikan, latar berlakang sosial juga sudah menjadi perhatian para pemangku kepentingan.
Padahal, meninjau manfaatnya, keberagaman dalam cakupan lebih luas juga menjadi sebagai salah satu faktor berdampak terhadap merek, tujuan korporasi, dan kinerja korporasi.
Perhatian ini tidak hanya muncul dari tingkatan eksekutif, tetapi juga karyawan dari kalangan milenial.
Dia meyakini keberagaman tidak akan menurunkan produktivitas, tetapi justru dapat merangsang inovasi dan kreatifitas. Pengambilan keputusan yang berdasarkan pada keragaman akan membantu tim mencari solusi yang lebih luas dan membantu mengenal permasalahan dari sudut pandang yang berbeda.
Keberagaman juga mengurangi kemungkinan terjadinya group think. Keadaan tersebut terjadi ketika kelompok membuat keputusan tidak masuk akal yang didasari dari pemikiran individu yang berlatar belakang sama.
Ripy mengatakan terdapat tiga faktor yang dapat memengaruhi terciptanya budaya inklusi dalam suatu perusahaan yakni, perilaku, sistem dan simbol. Pertama, perilaku atasan sangat memengaruhi berlakunya budaya yang lebih terbuka.
Kedua, sistem yang diciptakan perusahaan melalui kebijakan harus bisa memfasilitasi semua kalangan baik dari generasi dan gender yang berbeda.
Generasi millenial di kantornya, lanjutnya, justru lebih memilih benefit untuk wisata dibandingkan dengan benefit kesehatan.
Selain itu, membuka batas ruangan para manajer dilakukan agar menghilangkan gap antara atasan dan bawahan. Bahkan, hampir 40% ruangan di kantornya telah direnovasi.
&ldquo;Perubahan simbol ternyata sangat berpengaruh.Perubahaan signifikan itu kami mulai tiga hingga empat tahun yang lalu. Kami rombak ruangan, dari seragam menjadi kaos, dan perubahan kebijakan terkait benefit yang bisa mengakomodasi minat karyawan yang berbeda,&rdquo; katanya.
Contoh lain perusahaan yang mulai berupaya untuk menerapkan budaya inklusi, di antaranya PT Unilever Indonesia Tbk. yang belum lama ini mengumumkan kebijakan baru untuk memperpanjang masa cuti hamil dan melahirkan bagi karyawannya menjadi empat bulan dari sebelumnya tiga bulan.
Tak hanya itu, karyawan lakilaki yang istrinya akan melahirkan juga diberikan izin tidak masuk atau paternity leave selama 5 hari dari sebelumnya 3 hari.
Strategi ini sengaja disusun oleh perusahaan untuk meningkatkan bisnisnya dua kali lipat sekaligus mengurangi setengah dampak lingkungan yang ditimbulkan dari dampak kesehatan yang memburuk dan meningkatkan dampak sosial.NINDYA ALDILA

 
Tak hanya dalam menjalin hubungan dengan rekan kerja, isu perbedaan latar belakang ternyata telah memengaruhi sikap petinggi perusahaan dalam mengambil keputusan. 

Menanamkan Keragaman ke Perusahaan

Informasi Diunggah