BREN

JAKARTA &mdash; Ketergantungan perusahaan batu bara domestik terhadap pasar ekspor, di tengah tingginya harga batu bara acuan dan tidak terserapnya komoditas tersebut di dalam negeri, kian menyulitkan pemerintah dalam mengendalikan tingkat produksi batu bara.
Lucky L. Leatemia lucky.leatemia@bisnis.com
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengakui tingkat kebutuhan batu bara dalam negeri masih jauh di bawah tingkat produksinya.
Oleh karena itu, ekspor menjadi satu-satunya jalan agar hasil produksi bisa terserap.
Hanya saja, demi tujuan konservasi cadangan, pemerintah terus berupaya untuk menekan produksi di dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik yang kecil, ketimbang mendorong ekspor komoditas itu ke luar negeri.
&ldquo;Serap semuanya [di dalam negeri] justru boleh-boleh saja. Kesulitan kita karena sisa kelebihan itu yang diekspor,&rdquo; katanya di kantor Kementerian ESDM, Senin (3/7).
Dia menjelaskan tingkat produksi batu bara sebenarnya telah ditetapkan untuk terus turun hingga 400 juta ton pada 2019 seiring dengan berkurangnya porsi ekspor. Namun, yang terjadi justru tingkat produksi yang tak kunjung turun.
Sepanjang tahun lalu saja, realisasi produksi batu bara nasional mencapai 434 juta ton, dari target 419 juta ton.
Untuk tahun ini, meskipun target yang ditetapkan sebanyak 413 juta ton, produksi diperkirakan bisa menyentuh kisaran 470 juta ton. Apalagi ditambah dengan harga emas hitam tersebut yang kian membaik.
&ldquo;Alasan pertama, ada perusahaan-perusahaan pada tahap FS [feasibility study] yang masuk [tahap operasi produksi]. Ada juga yang dulu perusahaannya rugi, sekarang coba recovery.&rdquo; Selain pembatasan produksi hingga 400 juta ton di 2019, dalam Peraturan Presiden No.
22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) disebutkan bahwa ekspor batu bara harus dikurangi secara bertahap hingga terhenti paling lambat pada 2046.
Di sisi lain, Kementerian ESDM tahun ini menargetkan peningkatan penyerapan batu bara di dalam negeri dari 90,5 juta ton pada 2016 menjadi 107,9 juta ton atau naik hingga 19,22%.
Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan DMO rata-rata sebesar 3%&ndash;5%, kecuali 2014&ndash;2015 yang mencapai 12%. Oleh karena itu, cukup sulit meningkatkannya hingga hampir 20% pada tahun ini.
&ldquo;Meski proyek 35.000 MW menjadi harapan produsen batu bara, tapi kemungkinan tahun ini demand dari kelistrikan belum meningkat drastis,&rdquo; katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, selain ketenagalistrikan, sektor lain seperti semen, kertas, ataupun smelter, kurang bisa diandalkan karena penyerapannya sangat rendah.
Dalam penetapan tersebut, DMO untuk pembangkit listrik tenaga uap mencapai 88,3 juta ton atau 81,83% dari total alokasi. Adapun, industri semen hanya akan menyerap 13,8 juta ton, pupuk 1,4 juta ton, tekstil 2,6 juta ton, kertas 959.000 ton, metalurgi 820.000 ton, dan briket 26.000 ton.
BATU BARA ACUAN
Seperti diketahui, harga ratarata batu bara acuan (HBA) sepanjang semester I/2017 masih bertengger di atas level US$80 per ton. Harga tersebut jauh di atas rata-rata 2016 senilai US$61,84 per ton.
Hal tersebut diperkirakan bakal mendorong para produsen untuk menggenjot tingkat produksinya.
Sementara itu, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan tingkat produksi tersebut salah satunya melalui penyusunan beleid pengendalian batu bara nasional.
Kendati kewenangan perizinan tambang sebagian besar berada di provinsi, beleid baru tersebut akan berupa Peraturan Menteri ESDM yang berlaku secara nasional. Menurut Bambang, kewenangan pengendalian nasional tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Adapun, Kementerian ESDM akan memanfaatkan data hasil koordinasi dan supervisi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari provinsi untuk mengatur produksi batu bara tersebut.
Namun, Bambang menilai pengendalian produksi lewat provinsi tersebut masih sulit dilakukan tahun ini. Paling cepat baru bisa diterapkan tahun depan.
Produksi Batu Bara Indonesia (juta ton)
<table>
<tbody>
<tr>
<td>
2011
</td>
<td>
353
</td>
</tr>
<tr>
<td>
2012
</td>
<td>
412
</td>
</tr>
<tr>
<td>
2013
</td>
<td>
474
</td>
</tr>
<tr>
<td>
2014
</td>
<td>
458
</td>
</tr>
<tr>
<td>
2015
</td>
<td>
461
</td>
</tr>
<tr>
<td>
2016
</td>
<td>
434
</td>
</tr>
<tr>
<td>
2017*
</td>
<td>
93**
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
&nbsp;
Harga Batu Bara Acuan Periode 2017 (US$/ton)
<table>
<tbody>
<tr>
<td>
Jan
</td>
<td>
86,23
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Feb
</td>
<td>
83,32
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Mar
</td>
<td>
81,9
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Apr
</td>
<td>
82,51
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Mei
</td>
<td>
83,81
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Jun
</td>
<td>
75,46
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Sumber: Kementerian ESDM, diolah.
Ket: *Hingga April 2017, **Produksi dari pemegang PKP2B &amp; PTBA

 JAKARTA — Ketergantungan perusahaan batu bara domestik terhadap pasar ekspor, di tengah tingginya harga batu bara acuan dan tidak terserapnya komoditas tersebut di dalam negeri, kian menyulitkan pemerintah dalam mengendalikan tingkat produksi batu bara. 

Pengendalian Produksi Batu Bara Pasar Ekspor Masih Jadi Andalan

Informasi Diunggah