BREN

&ldquo;Masyarakat tidak peduli listrik itu berasal dari pembangkit apa. Mereka hanya ingin tarifnya tetap terjangkau. Makanya, semua kami atur agar tarif listriknya tidak naik, karena goal pemerintah adalah tarif listrik tidak naik setiap tiga bulan.&rdquo;
Thomas Mola &amp; Kurniawan A. Wicaksono redaksi@bisnis.com
Pernyataan tentang so problem tarif ketenaga listrikan di atas pernah dilontarkan Ignasius Jo nan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral lusi -- (ESDM), kala berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia belum lama ini.
Penegasan itu seperti jawaban terhadap polemik banyak pihak terkait dengan investasi sektor listrik energi baru terbarukan (EBT) yang dianggap tidak ekonomis.
Jonan berpendapat pemerintah menginginkan tarif listrik murah dan tidak pernah memaksa swasta untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan.
Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pemerintah dengan jelas mematok harga jual listrik EBT. Ketetapan yang dirilis pada awal tahun itu mengatur harga jual listrik berbasis EBT yakni maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) suatu daerah.
Melalui Permen tersebut, Kementerian ESDM berharap dapat menciptakan harga listrik yang terjangkau, mendorong efisiensi dari sisi PLN dan investor, sekaligus mendorong pengembangan energi terbarukan ke luar Pulau Jawa.
Jonan menegaskan pemerintah mencoba berbagai cara agar tarif listrik tetap terjangkau.
Sejak dirilis, Permen No. 12/2017 ini menuai banyak pro dan kontra. Pasalnya, selain membuat investasi sektor listrik EBT semakin menantang, ketetapan tersebut juga membangkitkan kembali pertanyaan perihal komitmen bauran energi pemerintah yang dipatok 25% pada 2025.
Abadi Poernomo, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, menuturkan investasi untuk membangun pembangkit EBT pada umumnya di atas BPP kecuali EBT seperti PLTA yang masih cukup kompetitif.
Kemahalan investasi pembangkit EBT dipengaruhi banyak faktor termasuk suku bunga pinjaman perbankan yang masih tinggi lantaran menggunakan pinjaman komersial. &ldquo;Pinjaman komersial rate-nya cukup tinggi sehingga pengembang berharap return di atas bunga bank,&rdquo; ujarnya kepada Bisnis.
Dia menuturkan poin utama dari Permen No. 12/2017 yang menjadi perhatian banyak pelaku usaha sektor kelistrikan EBT ialah penetapan harga jual listrik sebesar 85% dari BPP.
Walaupun beberapa pengembang sudah melakukan MoU dengan PLN untuk pembangkit EBT, Abadi mengaku tidak mengetahui bagaimana hitung-hitungan bisnis yang dipakai karena secara umum kalkulasi bisnis EBT belum menguntungkan.
MINTA KEMUDAHAN
Menurutnya, komponen perhitungan pembangkit EBT yang utama ialah biaya investasi yang dikeluarkan untuk membangun pembangkit listrik ramah lingkungan tersebut. Jika pemerintah berkukuh untuk mendapatkan harga listrik murah dari EBT, paparnya, pemerintah harus memberikan kemudahan fasilitasi khususnya infrastruktur pembangkit EBT.
&ldquo;Solar cell misalnya, minimal tanah harus bebas, sekarang pelaku usaha harus bebaskan lahan dan beli dengan harga pasar. Kemudian, alatnya dikasih insentif fiskal misalnya. Butuh kebijakan pemerintah untuk mengatur sampai di mana komponen pembentuk harga listrik ini ditanggung kontraktor sehingga harga listrik bisa murah,&rdquo; paparnya.
Abadi mencontohkan investasi pembangkit panas bumi berkisar US$5 juta per megawatt (MW) sehingga suka tidak suka, harga listrik yang dihasilkan akan berada di atas dua digit. Tambah lagi, ujarnya, pelaku swata sangat kesulitan mendapatkan suku bunga kompetitif.
&ldquo;Bunga murah hanya didapat oleh BUMN melalui [jaminan] Kementerian Keuangan, kepada kontraktor yang sifatnya independen susah, tidak murah,&rdquo; imbuhnya.
Menurutnya, dengan komitmen pemerintah meningkatkan kontribusi EBT hingga 25% pada 2025 seharusnya pemerintah mengkaji kembali Permen No.12/2017.
Angka 85% dari BPP, menurutnya, hanya berasal dari asumsi dan keinginan pemerintah untuk menekan BPP. Pemerintah hanya mengejar target untuk tidak menaikan tarif listrik dan tidak melihat secara utuh pengembangan listrik khususnya EBT.
Pengembangan EBT, paparnya, harus melihat cadangan ketersediaan energi fosil, isu pencemaran lingkungan dan potensi EBT yang dimiliki. Dia mencontohkan, China telah mengurangi pembangkit tenaga uap dan menggantinya dengan energi yang lebih ramah lingkungan.
Pertanyaan besarnya, menurut Abadi adalah sampai kapan pemerintah membiarkan EBT tidak dibangun? Beberapa EBT seperti solar cell jika tanah tidak bermasalah membutuhkan waktu 1 tahun. Adapun mikrohidro membutuhkan waktu lebih lama, begitu pula dengan geotermal yang membutuhkan waktu 7&mdash;8 tahun.
&ldquo;Harusnya ditinjau kembali kalau niat untuk kembangkan EBT. Perlu ditinjau [Permen No. 12/2017] secara masif untuk penuhi target bauran energi. Investor tidak happy dengan kondisi ini. Ngapain usaha kalau rugi,&rdquo; tambahnya.
Dia menuturkan di luar negeri, pemerintah selalu hadir untuk mendorong tumbuhnya pembangkit EBT. Selain biaya investasi, kemahalan pembangkit EBT juga disebabkan oleh masih kecilnya pasar sehingga biaya produksi menjadi tinggi.
Abadi mencontohkan, jika terdapat komitmen membangun 1 gigawatt (GW) tenaga surya, harga komponen bisa ditekan. Namun, ketika pemerintah membatasi harga jual maka pasar sulit untuk terbentuk karena kondisi yang tidak menarik investasi ke EBT.
Tawaran pemerintah untuk membangun pembangkit EBT di luar Jawa, menurutnya, masih cukup menarik karena BPP yang masih tinggi. Namun, pasar di luar Jawa masih kecil sehingga permintaan listrik terbatas.
&ldquo;Kalau lihat pembangkit PLN yang sekitar 56 GW, 60% ada di Jawa karena konsumen paling besar di Jawa. Jawa sudah penuh dengan pembangkit batu bara yang harganya 6 sen [dolar AS]. Kalau EBT dengan 85% dari 6 sen, tak bisa jalan,&rdquo; imbuhnya.
Abadi tidak menampik bahwa saat ini masyarakat lebih mementingkan harga listrik yang murah dibandingkan dengan listrik yang ramah lingkungan. Kondisi itu didukung oleh kebijakan PLN yang menerapkan least cost sehingga EBT tetap akan sulit bersaing.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) juga mengeluhkan banyaknya kesulitan yang harus dihadapi oleh pelaku usaha dalam mengembangkan pembangkit listrik di dalam negeri.
Padahal, pemerintah meminta swasta membangun pembangkit dengan total kapasitas 25.000 MW dari total keseluruhan proyek 35.000 MW.
PROBLEM INVESTOR SWASTA 
Ali Herman, Ketua Umum APLSI, mengatakan investor listrik swasta masih belum mendapatkan kemudahan yang dijanjikan, meski mendapat tugas cukup berat dari pemerintah.
Sejumlah persoalan klasik masih menjadi kendala dalam membangun pembangkit listrik di daerah.
&ldquo;Kami masih tidak sepakat dengan kebijakan jaminan proyek, transaksi dengan menggunakan rupiah saat mengimpor komponen yang dibutuhkan, dan harga yang masih belum menggairahkan,&rdquo; katanya.
Ali menyebut pemerintah harusnya melihat persoalan yang dihadapi swasta jika ingin pengembangan pembangkit listrik di dalam negeri berjalan lancar. Pasalnya, ada beberapa persoalan yang harus dihadapi swasta, tetapi tidak terjadi di BUMN yang menggunakan APBN saat melaksanakan pembangunan.
Dia mencontohkan masalah cost of fund, pembebasan lahan, dan perpajakan yang kerap menjadi kendala perusahaan swasta saat memulai investasi di dalam negeri.
BUMN jarang mengalami kendala tersebut karena pemerintah selalu memberikan kemudahan dengan berbagai aturan dan dukungan lainnya.
Hal lain yang harus dihadapi oleh swasta adalah persoalan tarif listrik saat ini yang dipatok berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik per daerah. Hal itu dinilai tidak fair, karena ikut memasukkan BPP dari pembangkit yang sudah balik modal ke dalam mekanisme penghitungannya.
&ldquo;Misalnya saja PLTU Paiton itu harga listriknya tidak sampai 4 sen dolar, karena capital recoverynya sudah selesai dan tinggal biaya untuk pembangkitannya saja, sehingga harga listriknya murah. Kalau itu dimasukkan dalam perhitungan BPP, tarifnya akan menjadi sekitar 5 sen dolar,&rdquo; ujarnya.
Menurutnya, banyak faktor yang harus lebih diperhatikan oleh pemerintah jika ingin mengajak swasta berinvestasi di dalam negeri.
Pemerintah harus memperhitungkan tindakan yang harus dilakukan swasta untuk memulai investasi, dan menggunakan berbagai faktor terkini saat merumuskan kebijakan.
Diskursus publik dan pelaku usaha itu juga disadari Kementerian ESDM. Pemerintah dihadapkan pada kondisi untuk wajib menyediakan listrik murah sekaligus mendorong pengembangan energi listrik yang ramah lingkungan. Pilihan menggenjot pembangkit dengan biaya murah merupakan pilihan logis tetapi mengabaikan EBT juga tidak bijak untuk jangka panjang.
Namun, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengisyaratkan tidak akan merevisi Permen No. 12/2017 dan tidak akan memberikan insentif fiskal seperti yang diminta para pelaku usaha.
Dia tidak menampik bahwa pembanguan pembangkit listrik energi terbarukan membutuhkan biaya besar. Pembatasan harga jual listrik diproyeksikan menggerus pendapatan para pelaku usaha karena suku bunga pinjaman juga masih cukup tinggi.
Menurutnya, salah satu solusi yang dapat dipakai pelaku usaha ialah menggunakan pinjaman bank luar negeri yang menawarkan suku bunga lebih terjangkau. Pemerintah, jelasnya, tidak mempermasalahkan dari mana asal dana pembangunan pembangkit listrik.
Arcandra juga mengarahkan agar pembangunan listrik EBT diarahkan ke Indonesia timur seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pasalnya, harga BPP di wilayah tersebut masih tinggi, mengingat harga BPP yang rendah umumnya berada di wililayah Jawa dan sebagaian Sumatra. (Gemal A.N. Panggabean)
Kebutuhan Investasi RUPTL 2016-2025 IPP &amp; PLN (US$ miliar)
<table>
<tbody>
<tr>
<td>
Pembangkit PLN
</td>
<td>
US$31,9 miliar
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Pembangkit IPP
</td>
<td>
US$78,2 miliar
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Transmisi
</td>
<td>
US$29,1 miliar
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Distribusi
</td>
<td>
US$14,6 miliar
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Total PLN
</td>
<td>
US$75,6 miliar
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Total IPP
</td>
<td>
US$78,2 miliar
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Total PLN+IPP
</td>
<td>
US$153,8 miliar
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Sumber: PT PLN (Persero) BISNIS/HUSIN PARAPAT
&nbsp;
Proyeksi Bauran Energi Indonesia (%)
<table>
<tbody>
<tr>
<td>
&nbsp;
</td>
<td>
2016
</td>
<td>
2025
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Batu bara
</td>
<td>
58
</td>
<td>
50,3
</td>
</tr>
<tr>
<td>
LNG
</td>
<td>
6
</td>
<td>
19,4
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Gas
</td>
<td>
19
</td>
<td>
10
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Hydro
</td>
<td>
6
</td>
<td>
10,4
</td>
</tr>
<tr>
<td>
EBT Lain
</td>
<td>
0
</td>
<td>
1,1
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Impor
</td>
<td>
0
</td>
<td>
0
</td>
</tr>
<tr>
<td>
Panas Bumi
</td>
<td>
4
</td>
<td>
8
</td>
</tr>
<tr>
<td>
HSD
</td>
<td>
5
</td>
<td>
0,5
</td>
</tr>
<tr>
<td>
MFO
</td>
<td>
2
</td>
<td>
0,1
</td>
</tr>
</tbody>
</table>

 “Masyarakat tidak peduli listrik itu berasal dari pembangkit apa. Mereka hanya ingin tarifnya tetap terjangkau. Makanya, semua kami atur agar tarif listriknya tidak naik, karena goal pemerintah adalah tarif listrik tidak naik setiap tiga bulan.” 

Polemik Energi Terbarukan Listrik Murah Vs Listrik Ramah

Informasi Diunggah