Perekonomian Indonesia cenderung mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Bahkan, hal tersebut berhasil menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia.
Menurut data Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai US$1,19 triliun pada 2021. Jumlah itu berada di urutan keempat di antara negara-negara Benua Kuning, menyalip Arab Saudi dan Turki yang memiliki PDB masing-masing sebesar US$833,54 miliar dan US$815,27 miliar.
Seiring dengan ekonomi yang terus membesar, rata-rata pendapatan penduduk di dalam negeri pun semakin meningkat. Pada 2021, PDB per kapita Indonesia tercatat sebesar Rp62,2 juta.
Jumlah tersebut telah naik hampir 40% sejak 2001 yang hanya sebesar Rp7,2 juta. Sepanjang dua dekade tersebut, rata-rata pertumbuhan pendapatan penduduk Indonesia meningkat 3,75% per tahunnya.
Kendati demikian, meningkatnya pendapatan penduduk di Indonesia masih menimbulkan persoalan tersendiri. Pasalnya, distribusi pendapatan tersebut belum merata di antara seluruh penduduk Indonesia, sehingga mendorong adanya ketimpangan.
Bahkan, menurut data World Inequality Report (WIR) 2022, ketimpangan pendapatan di tanah air semakin melebar. Secara historis, ketimpangan pendapatan penduduk di tanah air sudah terjadi sejak tahun 1900 dan meningkat tajam pada 1980-an setelah pemerintah mengeluarkan paket-paket kebijakan deregulasi di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan.
Setelah tahun 1999 hingga saat ini, ketimpangan di Indonesia juga tidak menunjukkan adanya perbaikan. Sepanjang 2021, pendapatan kelompok 50% terbawah hanya Rp22,6 juta per tahun. Nilai itu jauh lebih rendah dibandingkan di kelompok 10% teratas yang memiliki pendapatan hingga Rp285,07 juta per tahun.
Jika melihat proporsinya, maka kelompok 50% terbawah hanya memiliki 12,4% dari total pendapatan nasional pada 2021. Persentase itu lebih rendah dibandingkan dua dekade sebelumnya yang sebesar 17,4%.
Sementara, kelompok penduduk yang memiliki pendapatan 10% teratas bisa menguasai 48% dari total pendapatan nasional pada 2021. Proporsi itu mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2001 yang sebesar 41,5%.
Melihat rasionya, ketimpangan pendapatan antara kelompok 10% teratas dengan 50% terbawah sebesar satu banding 19. Hal tersebut mengartikan bahwa satu penduduk dari kelas ekonomi teratas memiliki pendapatan 19 kali lipat lebih besar dibandingkan penduduk dari ekonomi terbawah.
Rasio tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dua dekade silam. Pada 2001, ketimpangan pendapatan antara kelompok 10% teratas dengan 50% terbawah hanya sebesar satu banding 12.
Selain itu, rasio tersebut juga lebih tinggi dibandingkan 127 negara lain di dunia. Sedangkan, hanya 49 negara secara global yang kesenjangan pendapatannya melampaui Indonesia.
Tidak hanya itu, ketimpangan kekayaan di Indonesia pun tak menunjukkan banyak perubahan. Padahal, rata-rata harta penduduk di dalam negeri telah meningkat empat kali lipat dalam dua dekade terakhir.
Kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan rumah tangga secara nasional pada 2021. Persentase tersebut lebih rendah dibandingkan pada 2001 yang sebesar 5,86%.
Sementara, 10% penduduk terkaya memiliki 60,2% dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2021. Angkanya justru meningkat dibandingkan pada 2001 yang sebesar 57,44%.
Adapun jika membandingkan antara proporsi pendapatan dan kekayaan dari kelompok penduduk 10% teratas, maka persoalan ketimpangan di Indonesia sebenarnya bukanlah yang terparah di dunia. Negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah memiliki ketimpangan yang jauh lebih tinggi.
Afrika Selatan, misalnya, punya proporsi pendapatan kelompok 10% teratas mencapai 66,5%. Sedangkan, proporsi kekayaan dari kelompok 10% teratas di negara tersebut sebesar 85,7%.
Di Chili, Brasil, dan Meksiko, proporsi pendapatan kelompok 10% teratas masing-masing sebesar 58,9%, 58,6%, dan 57,4%. Sementara, proporsi kekayaan kelompok 10% teratas di ketiga negara tersebut berturut-turut sebesar 80,4%, 79.8%, dan 78,7%.
Namun, hal tersebut tak menihilkan adanya persoalan ketimpangan di Indonesia. Apalagi ketimpangan di Indonesia terus meningkat dan menyalip sejumlah negara, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Nigeria.
Persoalan ketimpangan di Indonesia sebenarnya juga terlihat dari rasio gini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rasio gini di tanah air sebesar 0,384 pada Maret 2022. Angka ini naik 0,003 poin atau 0,79% dibandingkan pada September 2021 yang sebesar 0,381 poin.
Melihat trennya, rasio gini di Indonesia sebenarnya telah cenderung menurun sejak mencapai puncaknya pada September 2014 yang sebesar 0,414 poin. Hanya saja, angkanya masih jauh lebih tinggi 12,6% dibandingkan pada 2002 yang sebesar 0,341 poin.
Berdasarkan dari daerah tempat tinggalnya, rasio gini di perkotaan tercatat sebesar 0,403 pada Maret 2022. Nilai itu naik dibandingkan pada September 2021 yang sebesar 0,398.
Sementara rasio gini di perdesaan dilaporkan sebesar 0,314. Angkanya tidak berubah dibandingkan kondisi September 2021.
(Baca: Lingkaran Setan Kemiskinan di Balik Mahalnya Biaya Pendidikan)
Mengapa Ketimpangan Ekonomi di Indonesia Makin Melebar?
Persoalan ketimpangan ekonomi kerap dianggap terjadi karena semakin banyaknya penduduk miskin di Indonesia. Padahal, hal tersebut tak sepenuhnya tepat.
Data BPS menunjukkan, angka penduduk miskin di Indonesia justru mengalami penurunan yang cukup signifikan. Lebih dari separuh angka kemiskinan sejak tahun 1999 berhasil turun menjadi di bawah 10% pada 2019.
Ketika pandemi Covid-19 melanda, angka penduduk miskin Indonesia memang sempat naik menjadi 10,19% pada September 2020. Namun, persentasenya kembali turun menjadi 9,54% pada Maret 2022.
Menurut laporan Bank Dunia berjudul A Perceived Divide: How Indonesians Perceive Inequality and What They Want Done About It, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar di Indonesia bukan karena memburuknya kondisi orang miskin. Namun, hal tersebut terjadi akibat melesatnya total kekayaan kelompok teratas.
Antara tahun 2003-2010, konsumsi per individu 10% terkaya bisa tumbuh lebih dari 6% per tahun setelah disesuaikan dengan inflasi. Sedangkan, untuk konsumsi per individu 40% termiskin hanya tumbuh kurang dari 2% per tahun.
Bank Dunia merinci empat penyebab utama ketimpangan di Indonesia semakin dalam. Pertama, ketimpangan peluang yang tecermin dari nasib anak-anak keluarga miskin terpengaruh oleh tempat mereka dilahirkan atau pendidikan orang tua mereka.
Kedua, ketimpangan pasar tenaga kerja di mana pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar. Sementara, tenaga kerja dengan keterampilan rendah hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan mereka.
Ketiga, konsentrasi kekayaan yang terlihat dari kepemilikan aset keuangan kaum teratas seperti properti atau saham. Keempat, ketimpangan dalam menghadapi goncangan di mana masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak.
Bank Dunia pun merekomendasikan beberapa cara untuk mengatasi ketimpangan di Indonesia, antara lain memperbaiki fasilitas dan layanan umum, memperkuat program perlindungan sosial, menyediakan lapangan kerja sebaik mungkin, dan meningkatkan ketaatan dalam pengumpulan pajak perorangan.
(Baca: Menakar Efek Kartu Prakerja Mendorong Lapangan Kerja)