Indonesia kembali menghadapi lonjakan kasus Covid-19 varian Omicron pada Februari hingga awal Maret 2022. Seiring hal tersebut, laju ekonomi Indonesia pun turut mengalami tekanan.

Hal tersebut sebagaimana terlihat dari beberapa indikator ekonomi makro yang telah dirilis pada bulan lalu. DataIndonesia.id pun merangkum data-data tersebut dalam laporan bertajuk Indikator Ekonomi Makro Maret 2022. Berikut rangkuman data tersebut:

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia mengalami deflasi secara bulanan (month-to-month/m-to-m) sebesar 0,02% dengan Indeks Harga Konsumen mencapai 108,24 pada Februari 2022. Nilai ini turun dibandingkan pada bulan sebelumnya yang mengalami inflasi sebesar 0,56%.

Sementara secara tahunan ((year on year/yoy), Indonesia masih mengalami inflasi sebesar 2,06% pada Februari 2022. Hanya saja, angkanya melambat dari bulan sebelumnya yang sebesar 2,18%.

Deflasi pada Februari 2022 dipicu adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh beberapa indeks kelompok pengeluaran. Salah satunya adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang memiliki tingkat deflasi 0,84% (m-to-m) dengan andil 0,22%.

Hal tersebut tecermin dengan turunnya harga minyak goreng, telur ayam ras, dan daging ayam ras yang masing-masing menyumbang sebesar 0,11%, 0,1%, 0,06%. Kemudian, cabai rawit dan ikan segar memberi andil berturut-turut sebesar 0,05% dan 0,02%.

BPS juga melaporkan, indeks harga pada komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,31% (m-to-m). Komponen tersebut memberikan andil sebesar 0,2% terhadap inflasi Februari 2022.

Dari 90 kota yang dipantau BPS, 53 kota mengalami deflasi dan 37 lainnya inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Tanjung Pandan sebesar 2,08%. Sedangkan, inflasi tertinggi terjadi di Kupang sebesar 0,65%.

Selain itu, BPS melaporkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) secara nasional sebesar 108,46 pada Februari 2022. Angka tersebut turun 0,01% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/m-to-m) yang sebesar 108,46.

Sebaliknya, IHPB mengalami kenaikan sebesar 0,74% secara tahun kalender (year to date/ytd). Jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy), IHPB pada Februari 2022 masih lebih tinggi 2,9%.

Menurut sektornya, IHPB pertanian memiliki penurunan terbesar pada Februari 2022, yakni 1,14% (m-to-m). Di sektor industri, IHPB mengalami peningkatan 0,24% (m-to-m). Kemudian, IHPB di sektor pertambangan dan penggalian naik 0,67% (m-to-m).

Sektor industri masih menjadi kontributor terbesar IHPB, yakni 0,2%. Sektor pertambangan dan penggalian menyumbang andil 0,01%. Sedangkan, sektor pertanian menyumbang andil terhadap penurunan IHPB sebesar 0,22%.

Adapun, IHPB bahan bangunan/konstruksi secara umum ikut naik sebesar 0,29% pada Februari 2022 (m-to-m). Kenaikan ini disebabkan oleh inflasi harga solar 2,29%, barang dari logam aluminium siap pasang untuk bangunan 2,13%, cat 0,98%, besi konstruksi bangunan 0,85%, pasir 0,81%, dan pipa PVC 0,76%.

Lebih lanjut, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia sebesar 51,2 poin pada Februari 2022. Nilai tersebut turun 4,66% dibandingkan pada bulan sebelumnya yang sebesar 53,7 poin.

Angkanya juga menjadi yang terendah dalam enam bulan terakhir. Walau demikian, PMI manufaktur Indonesia pada Februari 2022 masih lebih tinggi 0,59% dari setahun sebelumnya yang sebesar 50,9 poin.

Menurut IHS Markit, rendahnya PMI manufaktur pada Februari 2022 disebabkan oleh kenaikan yang lebih minim dari pekerjaan baru dan produksi karena melonjaknya kasus Covid-19. Hal itu lantas berdampak kepada kepercayaan bisnis yang turun ke posisi terndah dalam 21 bulan.

Meski demikian, ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian bertahan relatif tangguh. Kinerja pemasok pun ikut membaik pada bulan kedua tahun ini.

Walau begitu, perusahaan berhati-hati mengakumulasi stok di tengah perkambatan permintaan. Kemudian, inventaris pascaproduksi juga sedikit turun pada Februari 2022.

Dari segi harga, biaya input dan output terus naik di kisaran yang melampaui rata-rata jangka panjang, meski inflasi melambat sejak Januari 2022. kenaikan harga bahan baku dilaporkan secara luas di seluruh sektor manufaktur, yang seringkali dibebankan kepada pelanggan.

Neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$3,83 miliar pada Februari 2022. Ini melanjutkan tren surplus neraca perdagangan selama 22 bulan sejak Mei 2020.

Nilai surplus tersebut meningkat 298,96% dibandingkan pada bulan sebelumnya yang sebesar US$0,96 miliar. Nilainya pun juga lebih tinggi 92,46% jika dibandingkan pada Februari 2021 yang sebesar US$1,99 miliar.

Secara rinci, surplus neraca perdagangan yang berasal dari sektor nonmigas sebesar US$5,73 miliar. Sementara, neraca perdagangan migas Indonesia masih mengalami defisit US$1,91 miliar.

Surplus neraca perdagangan tersebut lantaran nilai ekspor yang lebih tinggi dari impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia sebesar US$20,46 miliar pada Februari 2022.

Jumlah itu tumbuh 6,73% dari bulan sebelumnya yang sebesar US$19,16 miliar. Angkanya pun juga masih lebih tinggi 34,14% jika dibandingkan pada Februari 2021 yang sebesar US$15,26 miliar.

Sementara, nilai impor Indonesia tercatat sebesar US$16,64 miliar pada Februari 2022. Jumlah itu turun 8,64% jika dibandingkan sebulan sebelumnya, namun masih lebih tinggi 25,43% secara tahunan.

Bank Indonesia (BI) mencatat, keyakinan konsumen Indonesia menurun pada Februari 2022. Ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang sebesar 113,1 poin pada bulan tersebut.

Angka tersebut lebih rendah 5,43% dari bulan sebelumnya yang sebesar 119,6 poin. Sementara, IKK juga menurun 3,91% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 117,7 poin.

Penurunan IKK terjadi di sebagian besar kategori tingkat pengeluaran responden. Ini khususnya terjadi di responden dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta per bulan.

Dari sisi usia, penurunan IKK juga terjadi di mayoritas kelompok. Sedangkan secara spasial, keyakinan konsumen menurun di 16 kota, dengan penurunan tertinggi di Mataram, Banjarmasin, Makassar, dan Jakarta.

Adapun, penurunan IKK didorong oleh menurunnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini. Hal itu tecermin dari Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang turun 5,35% (m-to-m) menjadi 95,5 poin pada Februari 2022.

Sejalan dengan itu, keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan juga menurun. Ini terlihat dari Indeks Ekspektasi Konsumen yang sebesar 130,8 poin atau terkontraksi 5,42% (m-to-m) pada Februari 2022.

Lebih lanjut, kinerja penjualan eceran juga mengalami penurunan pada Januari 2022. Ini tecermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang sebesar 209,6 poin. Angka tersebut terkontraksi 3,1% dibandingkan pada Desember 2021 (month-to-month/m-to-m) yang senilai 216,3 poin.

Sementara, IPR pada Januari 2022 mengalami pertumbuhan 15,2% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Pertumbuhan itu lebih tinggi dibandingkan pada bulan sebelumnya yang sebesar 13,8%.

Secara bulanan, penurunan IPR ditopang oleh penjualan kelompok peralatan informasi dan komunikasi yang melemah 4% (m-to-m). Penjualan sandang juga tercatat turun 1,2% (m-to-m).

Perlengkapan rumah tangga lainnya mengalami kontraksi 2,5% (m-to-m). Kemudian, penjualan kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga mengalami penurunan 3,6% (m-to-m).

Sementara, kelompok suku cadang dan aksesoris, barang budaya dan rekreasi, serta bahan bakar kendaraan bermotor tercatat tumbuh pada Januari 2022. Ketiganya berturut-turut mengalami pertumbuhan sebesar 3,1%, 4,5%, dan 1,1%.

Lebih lanjut, kinerja penjualan eceran diprakirakan turun 3,2% (m-to-m) menjadi 202,8 pada Februari 2022. Secara tahunan, IPR pada Februari 2022 diproyeksi naik 14,5% (yoy).

BI mencatat, permintaan pembiayaan korporasi meningkat pada Februari 2022. Ini terlihat dari saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan pembiayaan korporasi yang sebesar 14,3%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya senilai 13,1%.

Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh tumbuhnya permintaan pembiayaan dari sektor pertanian. Hal tersebut tecermin dari SBT yang naik dari 5,3% per Januari 2022 menjadi 6,6% pada bulan selanjutnya.

Selain itu, pembiayaan sektor pertambangan juga naik dari 1,4% menjadi 1,5%. Dari sektor industri pengolahan, SBT tumbuh dari 6,3% menjadi 7%.

Meningkatnya kebutuhan pembiayaan ini sejalan dengan naiknya kegiatan operasional untuk mendukung permintaan domestik yang kembali pulih. Faktor lain yang mempengaruhi adalah pembayaran kewajiban yang sudah jatuh tempo dan mendukung aktivitas investasi.

Adapun, kebutuhan pembiayaan mayoritas responden masih dipenuhi dari dana sendiri, yakni 58,2%. Kebutuhan pembiayaan dari pinjaman ke perbankan dalam negeri tercatat sebesar 7,7%.

Sumber pembiayaan yang berasal dari penambahan pinjaman/utang melalui perusahaan induk sebesar 9,9%. Ada 15,4% responden yang mengandalkan sumber pembiayaan dari pemanfaatan fasilitas kelonggaran tarik.

Sebanyak 1,1% responden menjual aset tetap non-produktif sebagai sumber pembiayaan. Sedangkan, 5,5% responden meraih sumber pembiayaan dari lainnya.

BI masih mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5% pada Maret 2022. Dengan demikian, suku bunga acuan BI tak berubah selama 13 bulan sejak Februari 2021.

Bank sentral pun tetap mempertahankan suku bunga deposit facility sebesar 2,75%. Kemudian, suku bunga lending facility stagnan di level 4,25%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi. Hal tersebut pun sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal yang meningkat, terutama akibat dari ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina.

Menurut Perry, perbaikan perekonomian global masih terus berlanjut. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi dunia berpotensi lebih rendah dari perkiraan di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat.

Perekonomian global juga masih dihadapkan dengan eskalasi ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang menambah ketidakpastian pasar keuangan global. Dengan pengenaan sanksi berbagai negara terhadap Rusia telah mempengaruhi transaksi perdagangan, pergerekan harga komoditas, dan pasar keuangan global.

Dari sisi domestik, perbaikan ekonomi nasional masih kuat seiring dengan meredanya penyebaran Covid-19 varian Omicron. BI masih tetap memperkirakan ekonomi domestik tumbuh dalam kisaran 4,7%-5,5% pada 2022.

Tingkat inflasi pun akan tetap terkendali di kisaran 3,0%±1%. Ini sejalan dengan masih memadainya sisi penawaran dalam merespons kenaikan permintaan, tetap terkendalinya ekspektasi inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, serta respons kebijakan BI dan pemerintah.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kembali mengalami surplus sebesar Rp19,7 triliun pada Februari 2022. Angka tersebut setara dengan 0,11% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Surplus APBN ini berbanding terbalik dengan periode serupa tahun sebelumnya yang mengalami defisit sebesar Rp63,3 triliun. Meski demikian, surplus pada Februari 2022 lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar Rp28,9 triliun.

Adapun, surplus APBN disebabkan realisasi belanja negara lebih rendah dibandingkan pendapatan. Secara rinci, realisasi pendapatan negara sebesar Rp302,4 triliun pada Februari 2022.

Jumlah itu naik 37,7% dari Februari 2021 yang mencapai Rp219,6 triliun. Realisasi pendapatan negara tersebut juga mencapai 16,4% dari target APBN yang sebesar Rp1.846,1 triliun.

Realisasi pendapatan negara paling besar dari penerimaan pajak, yakni Rp199,4 triliun. Pendapatan yang berasal dari penerimaan kepabeanan & cukai mencapai Rp56,7 triliun. Sedangkan, PNBP menyumbang Rp46,2 triliun.

Sementara, realisasi belanja negara mencapai Rp282,7 triliun pada Februari 2022, turun 0,1% dari Februari 2021 yang sebesar Rp282,9 triliun. Nilai tersebut setara dengan 10,4% dari target APBN sejumlah Rp2.714,2 triliun.

Realisasi itu paling besar dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp172,2 triliun. Ada pula belanja yang berasal dari transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) senilai Rp110,5 triliun.

Utang luar negeri (ULN) Indonesia tercatat sebesar US$413,6 miliar pada akhir Januari 2022. Jumlah itu menurun 0,41% dari bulan sebelumnya (m-to-m) yang sebesar US$415,3 miliar.

ULN Indonesia tersebut juga lebih rendah 1,7% (yoy) dibanding Januari 2021 yang sebesar US$420,9 miliar. Penurunan secara tahunan ini juga lebih dalam dibandingkan pada bulan sebelumnya yang sebesar 0,4% (yoy)

Mayoritas ULN Indonesia berasal dari pemerintah, yakni US$199,3 miliar. Jumlah itu melemah 0,42% secara bulanan dan 5,4% secara tahunan.

ULN yang berasal dari bank sentral senilai US$8,9 miliar pada akhir Januari 2022. Jumlah itu menurun 0,77% secara bulanan, tapi meningkat 212,49% secara tahunan.

Sementara, ULN swasta tercatat sebesar US$205,3 miliar. Nilai itu terkontraksi 0,4% dibandingkan pada bulan sebelumnya dan lebih rendah 0,95% secara tahunan.

Menurut BI, struktur ULN Indonesia pada Januari 2022 tetap sehat karena didukung prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Ini tecermin dari rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terjaga di kisaran 34,1%.

Struktur ULN INdonesia juga didominasi oleh utang jangka panjang. Pangsanya mencapai 88,2% dari total ULN tanah air.

Posisi cadangan devisa Indonesia sebesar US$141,4 miliar pada akhir Februari 2022. Nilai itu tumbuh 0,07% dari Januari 2022 (month-to-month/mtm) yang sebesar US$141,3 miliar.

Posisi cadangan devisa pada Februari 2022 pun juga lebih besar 1,88% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Tercatat, cadangan devisa Indonesia sebesar US$138,79 miliar pada Februari 2021.

Tumbuhnya posisi cadangan devisa pada Februari 2022 dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri pemerintah. Hal itu pun didukung oleh penerimaan pajak dan jasa.

Lebih lanjut, posisi cadangan devisa Indonesia pada Februari 2022 setara dengan pembiayaan 7,5 bulan impor. Nilai itu juga setara dengan 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Bank sentral melihat cadangan devisa tetap memadai. Ini didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi.

Posisi uang beredar dalam arti luas (M2) sebesar Rp7.672,4 triliun pada Februari 2022. Jumlah tersebut tumbuh 12,5% dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) sebesar Rp6.817,8 triliun.

Posisi uang beredar M2 pada Februari 2021 pun juga lebih tinggi 0,53% dari bulan sebelumnya. Tercatat jumlah uang beredar M2 sebesar Rp7.631,6 triliun pada Januari 2022.

Peningkatan uang beredar M2 didorong oleh akselerasi uang beredar dalam arti sempit (M1) sebesar 18,3% (yoy) menjadi Rp4.274,4 triliun. Selain itu, uang kuasi mengalami pertumbuhan sebesar 5,9% (yoy) menjadi Rp3.374,5 triliun.

Akselerasi penyaluran kredit di tengah perlambatan ekspansi keuangan pemerintah dan perlambatan aktiva luar negeri bersih menjadi faktor perkembangan uang beredar M2. Ekspansi keuangan pemerintah tecermin dari tagihan bersih kepada pemerintah pusat yang tumbuh sebesar 48,1% (yoy), tapi lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 48,1% (yoy).

Penyaluran kredit juga tumbuh sebesar 5,9% (yoy) pada bulan lalu. Nilai tersebut meningkat jika dibandingkan pada Januari 2022 yang tumbuh 5,4%.

Selain itu, aktiva luar negeri bersih tumbuh sebesar 1,4% (yoy) pada Februari 2022. Kendati, angka tersebut melambat dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 1,8% (yoy).

(Baca: Laporan Indikator Ekonomi Makro Februari 2022)

Laporan Indikator Ekonomi Makro Maret 2022