Lingkaran Setan Kemiskinan di Balik Mahalnya Biaya Pendidikan

Biaya pendidikan di Indonesia cenderung semakin mahal setiap tahunnya. Hal itu membuat pemenuhan akan kebutuhan pendidikan menjadi tantangan besar bagi penduduk miskin.

Monavia Ayu Rizaty

10 Jul 2022 - 13.30

Laporan

Biaya pendidikan di Indonesia cenderung semakin mahal setiap tahunnya. Kenaikan harga berbagai komponen, mulai dari uang pendaftaran, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) atau uang kuliah tunggal (UKT), peralatan seperti buku dan alat tulis, biaya internet, hingga transportasi semakin membebani biaya mengenyam edukasi mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Terlebih, biaya pendidikan di Indonesia semakin tinggi seiring dengan jenjang pendidikan yang diambil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, biaya pendidikan untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) atau sederajat mencapai Rp3,24 juta pada 2020/2021. Jumlah itu meningkat 35% dibandingkan pada 2017/2018 yang sebesar Rp2,4 juta.

Di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat, biaya pendidikannya mencapai Rp5,59 juta pada 2021/2022. Jumlah itu juga naik 32,15% dibandingkan pada 2017/2018 yang senilai Rp4,23 juta.

Biaya pendidikan untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat lebih mahal lagi, yakni Rp7,8 juta pada 2021/2022. Jumlah itu naik 19,44% dibandingkan pada 2017/2018 yang sebesar Rp6,53 juta.

Sedangkan, biaya pendidikan di jenjang perguruan tinggi melejit hingga Rp14,47 juta pada 2021/2022. Walau demikian, nilainya masih lebih rendah 5,61% dibandingkan pada 2017/2018 yang mencapai Rp15,33 juta.

Persoalan terkait mahalnya biaya pendidikan di Indonesia pun pernah tergambar dalam hasil survei HSBC pada 2017 lalu. Indonesia berada di urutan ke-15 sebagai negara dengan biaya pendidikan termahal secara global.

Tercatat rata-rata biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya sejak SD hingga kuliah mencapai US$18.433 atau setara 249,73 juta (kurs tengah Jisdor 2017 Rp13.548/US$). Posisi Indonesia berada di atas Mesir dan Prancis dengan biaya pendidikan dari SD sampai kuliah masing-masing sebesar US$16.863 dan US$16.708.

Mahalnya biaya tersebut membuat pemenuhan akan kebutuhan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi menjadi tantangan besar bagi penduduk miskin. Pasalnya, pengeluaran penduduk yang dikategorikan masuk ke dalam garis kemiskinan di bawah Rp486.168 per bulan atau Rp5,83 juta per tahun per September 2021.

(Baca: Was-was Stok Kurban saat PMK Makin Ganas)

Jika pengeluaran penduduk miskin itu diberikan sepenuhnya untuk biaya pendidikan, maka mereka hanya akan mampu mengenyam edukasi hingga tingkat SMP atau sederajat. Sedangkan, total pengeluaran penduduk miskin tak mampu memenuhi biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di tingkat SMA atau sederajat dan perguruan tinggi.

Kondisi ini pun terlihat dari rata-rata lama sekolah (RLS) yang ditempuh oleh 20% penduduk dengan pengeluaran terendah atau kuintil 1. Pada 2021, RLS di kuintil 1 hanya mencapai 7,16 tahun atau setara SMP kelas VII.

Angka tersebut jauh berbeda dengan 20% penduduk dengan pengeluaran tertinggi atau kuintil V. Rata-rata dari mereka bisa menikmati pendidikan hingga 11,36 tahun atau hampir tamat bangku SMA.

Padahal, lamanya pendidikan menjadi salah satu indikator penting untuk bisa mengeluarkan penduduk dari garis kemiskinan. Semakin lama seseorang mengenyam bangku sekolah, maka semakin banyak pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh.

Sebaliknya, RLS yang lebih pendek tidak mampu memberikan ragam pengetahuan dan keterampilan kepada seseorang. Akibatnya, mereka akan sulit mendapatkan akses pekerjaan dengan bayaran lebih tinggi karena terbatasnya penguasaan pengetahuan dan keterampilan.

(Baca: Laju Positif Emiten Pelat Merah Seiring Pemulihan Ekonomi)

Hal itu dapat dibuktikan dengan melihat data BPS terkait upah pekerja menurut tingkat pendidikannya. Seseorang yang tidak atau belum pernah sekolah hanya mendapatkan upah sebesar Rp1,42 juta per bulan pada Februari 2022.

Di sisi lain, seseorang yang menempuh pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi menerima upah mencapai Rp4,37 juta per bulan. Jumlah itu tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan upah pekerja yang tidak sekolah.

Demi mengatasi persoalan tersebut, sejumlah program beasiswa atau bantuan biaya pendidikan, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga nonpemerintah, dan lainnya terus bergulir. Dalam satu dekade terakhir, BPS mencatat tren siswa yang menerima beasiswa atau bantuan pendidikan di Indonesia memang cenderung meningkat.

Pada 2021, persentase penerima beasiswa mencapai 20,14% dari total siswa yang ada di dalam negeri. Secara rinci, sebanyak 22,66% penerima beasiswa merupakan siswa SD, 22,24% siswa SMP, 16,46% siswa SMA, dan 9,6% mahasiswa.

Hanya saja, baru 20,63% siswa dari kelompok pengeluaran rumah tangga 40% terbawah yang telah menerima beasiswa atau bantuan pendidikan tersebut. Sedangkan, sebagian besar atau 73,7% siswa kurang mampu belum tersentuh beasiswa atau bantuan pendidikan.

Padahal mereka adalah kelompok yang paling terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Di sisi lain, masih ada siswa/mahasiswa dari keluarga mampu yang masuk kelompok pengeluaran 20% teratas menerima beasiswa/bantuan pendidikan, meski proporsinya hanya 8,9%.

(Baca: Melihat Kinerja Ekonomi Tiga Kepala Daerah di Bursa Pilpres 2024)

Bagikan Artikel
Terpopuler
Tags