Indonesia masih sangat bergantung kepada tenaga batu bara untuk sebagian besar pembangkitan listriknya. Hanya saja, menurut riset yang dilakukan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), ketergantungan terebut dapat membawa dampak yang signifikan terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat di tanah air.
CREA dan IESR menghitung dampak kesehatan dari emisi polutan udara yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari batu bara di Indonesia. Analisis itu kemudian menggunakan beberapa skenario dengan berbagai jalur.
Di bawah kebijakan yang berlaku saat ini, dampak kesehatan kumulatif dari tahun 2024 hingga berakhirnya masa operasi semua pembangkit listrik batu bara akan mengakibatkan 302.800 kematian. Di samping itu, biaya kesehatan yang perlu ditanggung mencapai US$212,5 miliar.
Penghentian dini PLTU pada 2040 yang sejalan target Persetujuan Paris sebesar 1,5 derajat celsius akan menyebabkan kematian dan biaya kesehatan jauh lebih rendah. Jika mengecualikan pembangkit listrik captive, jumlah kematian kumulatif diperkirakan sebanyak 147.800 jiwa dengan biaya kesehatan sebesar US$103,6 miliar.
Sedangkan, dengan memasukkan pembangkit listrik captive dalam skenario tersebut, jumlah kematian kumulatif akan berkurang menjadi 121.000 jiwa. Kemudian, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan berkurang menjadi US$85 miliar.
Dengan demikian, jika PLTU captive dihentikan operasionalnya lebih awal pada 2040, negara dapat menyelamatkan nyawa 180.000 orang. Selain itu, biaya kesehatan yang dapat dihemat sebesar US$127 miliar.
Atas dasar itu, CREA dan IESR merekomendasikan agar PLTU captive diikutsertakan dalam skema Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Pemerintah pun perlu mendesak perusahaan listrik untuk mengevaluasi kembali rencana membangun PLTU baru dan beralih ke pembangkit EBT.