Apa itu Sell in May and Go Away dalam Pasar Saham?

Sell in May and Go Away. Menjadi salah satu istilah yang cukup sering disebut di pasar saham saat memasuki bulan Mei. Namun apa sebenarnya maksud istilah tersebut? Berikut penjelasannya.

Theresia Gracia Simbolon

7 Mei 2024 - 07.00

Data

Sell in May and Go Away. Menjadi salah satu istilah yang cukup sering disebut di pasar saham saat memasuki bulan Mei. Namun apa sebenarnya maksud istilah tersebut?

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh DataIndonesia dari berbagai sumber, Sell in May and Go Away merujuk pada fenomena yang menggambarkan kondisi di pasar saham yang cenderung melemah pada Mei dan baru kembali naik pada November.

Jika di pasar global, hal tersebut seiring terjadi lantaran para investor menarik dana dari pasar saham di tengah dimulainya libur musim panas, dan baru kembali ke pasar saham saat November.

Istilah tersebut diambil dari ungkapan kuno di Inggris yakni : Sell in May and go away, come back on St. Leger's Day, yang dilontarkan oleh para pedagang, bangsawan, dan bankir di kota London. Mereka melontarkan istilah tersebut mengacu kepada kebiasaan mereka yang suka meninggalkan kota selama berbulan-bulan saat musim panas tiba.

Mereka baru kembali sekitar pertengahan September untuk menyaksikan gelaran pacuan kuda, St. Leger’s Day, di arena balap Doncaster, South Yorkshire. Tak hanya di Inggris, orang-orang di Amerika juga memiliki kebiasaan yang serupa.

Di pasar saham, investor cenderung menarik dana pada bulan tersebut untuk menikmati libur musim panas dan baru kembali ke pasar saham pada musim gugur.

Saat mereka menarik dana dari pasar saham, minat untuk membeli atau melakukan transaksi saham menjadi berkurang sehingga pasar tidak terlalu bergairah.

Sementara saat mereka masuk kembali ke pasar saham, permintaan kembali meningkat dan bisa mendongkrak transaksi di bursa.

(Baca: (Laporan) Data IHSG, Penggerak hingga Rincian Transaksi Perdagangan Saham April 2024)

Penelitian Ilmiah

Dalam publikasi ilmiah bertajuk Sell in May and Go Away pada Bursa Efek Indonesia yang ditulis oleh Restu Hayati dan Poppy Camenia Jamil juga disebutkan bahwa fenomena tersebut telah banyak diteliti akademisi dari seluruh dunia.

Bouman dan Jacobsen (2002) mengungkapkan bahwa fenomena tersebut terbukti signifikan di 19 negara. Dalam penelitiannya, Bouman dan Jacobsen menyebutkan return saham pada November-April terbukti lebih tinggi dari pada return pada Mei-Oktober. Return pada Mei-Oktober disebutkan mendekati 0 bahkan bernilai negatif.

Adapun Doeswiik (2005) menyebutkan bahwa Sell in May and Go Away merupakan siklus musiman di mana terdapat hipotesis siklus optimis. Pada bulan-bulan di akhir tahun, investor biasanya cukup optimistis terhadap potensi pertumbuhan pada tahun selanjutnya, sehingga akan meningkatkan tingkat imbal hasil saham. Namun beberapa bulan setelah awal tahun yakni pada Mei-Oktober, investor dibayangi pesimisme di tengah para investor Eropa dan Amerika yang lebih memilih menikmati libur musim panas.

(Baca: (Laporan) Perkembangan Pasar Modal Indonesia Periode Mei 2023)

Bukan Patokan

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Meskipun fenomena tersebut berasal dari luar negeri, bursa saham Indonesia bisa saja mendapat imbasnya lantaran adanya potensi aksi jual investor asing di periode tersebut. Namun hal tersebut tidak bisa dijadikan patokan bahwa bursa saham pasti jeblok saat Mei tiba.

Berdasarkan pantauan DataIndonesia, laju indeks harga saham gabungan dalam 3 hari perdagangan pertama pada Mei 2024 memang mengakumulasi penurunan 1,36% (mtd) ke level 7.135,89 hingga penutupan Senin (6/5). Adapun secara historis sejak 2013 hingga 2023, pergerakan bulanan IHSG pada Mei cukup beragam meski cenderung turun. 

Terpantau IHSG parkir di zona merah pada Mei 2016, Mei 2018, Mei 2019, Mei 2021, Mei 2022, dan Mei 2023. Selebihnya IHSG terpantau menghijau pada bulan tersebut

Namun demikian, sejumlah analis menilai tekanan bursa saham yang terjadi pada Mei bukan hanya semata-mata akibat fenomena Sell in May and Go Away. Masih banyak hal lain yang mempengaruhi laju pergerakan bursa saham seperti kondisi makroekonomi, kebijakan moneter, hingga fundamental dan rencana kerja perusahaan.

Mengutip Bisnis.comSenior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi Riawan mengatakan, secara historis IHSG menunjukkan bahwa tren Sell in May and Go Away tidak selalu berlaku.

Dalam 20 tahun terakhir, IHSG bahkan lebih sering menguat selama Mei, dengan 11 kali naik dan 9 kali turun. Meskipun dalam 5 tahun terakhir, indeks komposit memang cenderung merah selama Mei.

Dia juga tidak dapat memastikan hal tersebut pasti akan berlanjut pada Mei tahun ini. Pasalnya ada beberapa sentimen yang perlu dicermati seperti laju pertumbuhan ekonomi global, kebijakan moneter di Indonesia dan negara-negara lainnya, hingga perdagangan internasional.

Hal senada juga diungkapkan oleh Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani. Jika dilihat data historis sejak Mei 2013 atau selama 10 tahun terakhir, fenomena pelemahan IHSG akibat fenomena Sell in May tidak selalu terjadi. Sejak 10 tahun terakhir, bahkan hanya 60%  IHSG mengalami kinerja yang negatif. Namun hal itu juga lebih dipengaruhi dari kondisi pasar dan ekonomi pada saat itu, bukan karena fenomena tersebut.

(Baca: (Laporan) Menilik Gerak IHSG 10 Tahun Terakhir, 2021-2022)

Bagikan Artikel
Terpopuler
Tags