(Laporan) Jerat Rokok di Sepanjang Garis Kemiskinan

Prevalensi rokok di kalangan orang miskin tak banyak berubah dari tahun ke tahun. Padahal, kenaikan harga rokok berpotensi membuat mereka makin susah keluar dari garis kemiskinan.

Shilvina Widi & Sarnita Sadya

10 Sep 2022 - 10.30

Laporan

Harga rokok di Indonesia kian mahal dari tahun ke tahun. Data Tobacco Control Support Center (TCBC) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) menunjukkan, indeks kemahalan rokok tercatat sebesar 12,7% pada 2021.

Persentase tersebut memang hanya mengalami kenaikan tipis 0,1% poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 12,6%. Kendati, jika melihat dalam 10 tahun terakhir, maka indeks kemahalan rokok telah meningkat sebesar 2,3% poin dari 10,4% pada 2012.

Tren kenaikan harga rokok bukanlah tanpa sebab. Pemerintah terus mendorong kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan tujuan menekan prevalensi merokok.

Sejak 2012-2022, pemerintah telah menaikkan CHT sebanyak sembilan kali. Absennya kenaikan CHT hanya terjadi pada 2014 dan 2019 atau ketika pemilu berlangsung. 

DJBC Kemenkeu pun telah memberikan sinyal kenaikan CHT pada 2023, bahkan persentasenya diperkirakan lebih tinggi dibandingkan tahun ini. Menurut Direktur Komunikasi dan Hubungan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto, kenaikan CHT salah satunya akan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sudah di atas 5%.

"Ya seharusnya begitu (pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan cukai rokok akan naik). Biasanya otomatis," ujar Nirwala sebagaimana dilansir dari Bisnis.com.

Meski kenaikan CHT terus berlangsung hampir setiap tahun, prevalensi rokok khususnya di kalangan orang miskin masih belum menurun secara signifikan. Ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa persentase penduduk dengan kuintil pengeluaran 1 atau termiskin yang merokok sebesar 27,25%.

Persentase tersebut justru meningkat 0,16% poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 27,09%. Dalam lima tahun terakhir, persentase penduduk termiskin yang merokok juga cenderung stabil.

(Baca: Mengukur Efektivitas Cukai Tembakau Menurunkan Konsumsi Rokok)

Hasil survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pun menunjukkan bahwa hanya 1,6% responden di keluarga miskin yang berhenti merokok pada tahun lalu di tengah kenaikan harga rokok dan adanya pandemi Covid-19. Sedangkan, 98,4% responden lainnya menyatakan masih tetap merokok.

Secara rinci, 63,8% responden menyatakan konsumsi rokoknya tetap sama. Sebanyak 13,3% responden mengaku konsumsi rokoknya meningkat. Sedangkan, 21,3% responden menurunkan konsumsi rokoknya.

Padahal, dengan kenaikan harga rokok, mereka akan semakin sulit terlepas dari jerat kemiskinan. Kondisi ini mengingat biaya untuk merokok semakin besar dan berpotensi menekan pengeluaran lain yang dibutuhkan untuk keluar dari garis kemiskinan.

Selama ini, rokok selalu menjadi kontributor terbesar kedua terhadap garis kemiskinan di Indonesia. Menurut BPS, kontribusi pengeluaran untuk rokok mencapai 19,38% terhadap garis kemiskinan di perkotaan pada Maret 2022. Angkanya lebih tinggi lagi sebesar 23,04% di perdesaan.

Posisi rokok berada di bawah beras dalam peranan menyumbang garis kemiskinan. Kontribusi beras terhadap garis kemiskinan sebesar 19,38% di perkotaan dan 23,04% di perdesaan.

Jika melihat trennya dalam lima tahun terakhir, kontribusi pengeluaran untuk rokok terhadap garis kemiskinan fluktuatif cenderung meningkat. Andilnya sempat menurun ketika pandemi Covid-19 berlangsung.

Namun, kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan kembali naik pada Maret 2022. Bahkan, kenaikan kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan di perdesaan cukup tinggi, melampaui di perkotaan.

Hubungan antara tingginya pengeluaran rokok per kapita dan besarnya garis kemiskinan juga terlihat jika dibedah berdasarkan kabupaten/kota. Di Mimika, misalnya, pengeluaran rokok per kapita dalam seminggu mencapai Rp24.041 pada 2021. Sedangkan, garis kemiskinan di kabupaten yang terletak di Papua tersebut mencapai Rp936.862.

Angkanya berkebalikan jika dibandingkan dengan di Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Di wilayah tersebut, pengeluaran per kapita dalam seminggu untuk rokok hanya sebesar Rp7.197. Garis kemiskinannya pun tercatat hanya sebesar Rp253.877.

(Baca: Lingkaran Setan Kemiskinan di Balik Mahalnya Biaya Pendidikan)

Selain itu, hasil riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) memperlihatkan bahwa pengeluaran akibat merokok dapat membuat keluarga hampir miskin jatuh ke bawah garis kemiskinan. Dalam perhitungan yang dibuat CISDI, tambahan angka kemiskinan akibat konsumsi rokok mencapai 3,23% poin atau setara 8,77 juta jiwa pada 2021. 

Jika melihat lebih rinci, meningkatnya angka kemiskinan akibat konsumsi rokok lebih signifikan di perdesaan dibandingkan perkotaan. Sebagai contoh, tingkat kemiskinan di perdesaan naik 3,90% poin dari 13,10% menjadi 17% karena konsumsi rokok pada 2021. Sementara, kenaikan angka kemiskinan di perkotaan hanya sebesar 2,72% poin dari 7,89% menjadi 10,61%. 

CISDI juga menemukan bahwa meningkatnya angka kemiskinan tak hanya disebabkan oleh belanja tembakau secara langsung. Biaya kesehatan untuk pengobatan akibat tembakau juga turut membebani anggaran rumah tangga perokok. 

Pada 2021, belanja tembakau langsung mengambil 11% porsi anggaran rumah tangga. Sedangkan, biaya kesehatan akibat tembakau mengambil porsi sebesar 0,22% dari pengeluaran rumah tangga. 

Dengan proporsi tersebut, biaya kesehatan karena merokok berkontribusi menambah angka kemiskinan sebesar 0,33% poin pada 2021. Estimasi tersebut relatif konsisten selama periode 2018-2021 dengan rata-rata sebesar 0,33% poin.

Dilihat secara spasial, Sulawesi Tengah mengalami kenaikan angka kemiskinan akibat tembakau yang tertinggi pada 2021, yakni 5,22% poin dari 13% menjadi 18,22%. Posisinya diikuti oleh Sulawesi Barat dan Lampung dengan kenaikan angka kemiskinan akibat tembakau masing-masing sebesar 4,87% poin dan 4,71% poin.

Analisis lebih lanjut menemukan bahwa prevalensi merokok oleh penduduk usia dewasa di suatu wilayah punya korelasi yang moderat dengan tambahan angka kemiskinan akibat tembakau. Sementara itu, persentase penduduk hampir miskin di sebuah wilayah punya korelasi erat dengan penambahan angka kemiskinan.

Melihat berbagai data tersebut, Research Associate CISDI Arya Swarnata menilai, perlu langkah pengendalian yang lebih efektif dalam upaya mengurangi konsumsi rokok, khususnya di kalangan miskin. Menurut Arya, kebijakan menaikkan CHT sebenarnya menjadi instrumen yang paling efektif dalam menekan prevalensi merokok di Indonesia.

Hanya saja, dia menyebut kenaikan CHT, terutama untuk rokok sigaret kretek tangan (SKT) masih rendah. Hal itu pun membuat harga rokok jenis tersebut masih terjangkau.

“Ini mengakibatkan masyarakat terutama yang berpendapatan rendah cenderung mengonsumsi rokok dengan harga yang lebih murah,” kata Arya kepada DataIndonesia.id pada Jumat (9/9).

Dia pun menilai perlu adanya instrumen lain yang dapat mendukung upaya mengurangi persentase merokok di kalangan warga miskin. Salah satunya dengan mengurangi variasi tarif cukai antarmerek.

Selain itu, kebijakan non-harga perlu didorong. “Pelebaran label peringatan risiko pada bungkus rokok dan pelarangan iklan rokok di area publik, khususnya di area yang terjangkau oleh anak-anak seperti di sekitar area sekolah,” kata dia.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho menilai, pemerintah harus melanjutkan rencana penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi enam lapisan pada 2023 dan tiga lapisan pada 2024. Pada saat ini, Emerson menilai struktur tarif CHT dengan delapan lapisan masih terlalu banyak.

Hal itu menyebabkan harga rokok semakin variatif. Alhasil, konsumen dapat cukup mudah mendapatkan rokok yang lebih murah, meski CHT terus naik hampir setiap tahunnya.

“Penyederhanaan struktur tarif cukai terbukti efektif meniadakan celah pilihan harga rokok yang lebih murah di masyarakat,” kata Emerson dalam diskusi virtual pada Rabu (31/8).

(Baca: (Laporan) Laju Fintech Lending Konsumtif Terdorong Tren Belanja)



Bagikan Artikel
Terpopuler
Tags